www.bangsanews.id – Kasus penangkapan Kapten Kapal KM Rizki Laut IV di perairan Sagulung, Batam, menimbulkan berbagai tanda tanya terkait prosedur hukum yang diikuti oleh pihak kepolisian. Penangkapan yang berlangsung pada 29 Mei 2025 ini telah menimbulkan sorotan, terutama mengenai keabsahan tindakan yang diambil oleh Polda Kepri.
Proses penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian menjadi perdebatan hangat, mengingat banyak aspek hukum yang seharusnya dipatuhi. Pertanyaan utama muncul: Apakah tindakan tersebut sesuai dengan prosedur yang diatur dalam hukum ketatanegaraan kita? Ketidakjelasan mengenai hal ini mengundang perhatian masyarakat akan pentingnya transparansi dalam penegakan hukum.
Aspek Hukum Penangkapan Yang Dipertanyakan
Kuasa hukum Kapten Rizki Laut IV, Agustinus Nahak, menegaskan bahwa tindakan penangkapan tersebut tidak sah. Menurutnya, pihak kepolisian tidak menunjukkan surat perintah penangkapan saat menangkap kliennya. Hal ini berpotensi melanggar Pasal 18 ayat 1 KUHP yang mewajibkan adanya surat perintah yang harus diperlihatkan kepada tersangka.
Lebih lanjut, Nahak menyatakan bahwa saat penangkapan dilakukan, kapal dalam kondisi normal dan tidak ada pelanggaran yang jelas terlihat. Ia menceritakan bahwa tidak terdapat tumpahan minyak atau korban dalam insiden tersebut, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang urgensi dan keabsahan tindakan tersebut. Menurut pengacara ini, penangkapan tanpa adanya keadaan yang mendesak menjadi suatu kesalahan besar dalam praktik penegakan hukum.
Prosedur Hukum yang Dilanggar
Selain masalah surat perintah, Nahak juga menggarisbawahi bahwa pengambilan barang bukti seperti HP awak kapal dilakukan tanpa berita acara penyitaan. Ini adalah hal yang sangat penting dalam praktik hukum, di mana setiap tindakan yang diambil harus dicatat secara resmi untuk menjamin kepastian hukum. Melihat hal ini, sangat jelas bahwa prosedur yang seharusnya dipatuhi tampaknya diabaikan dalam penangkapan ini.
Nahak juga menambahkan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan oleh Polda Kepri pada Hari Libur Nasional, yaitu tanggal 29 Mei 2025, merupakan pelanggaran terhadap asas hukum acara pidana. Dalam teori hukum, tindakan tersebut seharusnya dilakukan pada hari kerja normal, kecuali ada alasan yang mendesak untuk melakukannya di hari libur. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa prosedur hukum yang sudah ditetapkan telah dilanggar secara terang-terangan.
Berdasarkan berbagai bukti dan fakta hukum yang ada, Nahak menyatakan niatnya untuk mengajukan praperadilan. Langkah ini diharapkan dapat membatalkan tuduhan terhadap kliennya dan menyatakan bahwa semua barang bukti yang disita tidak sah. Ini menjadi penting sebagai upaya untuk mengembalikan hak-hak kliennya dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan secara seimbang.
Dengan demikian, kasus ini tidak hanya menjadi perhatian bagi klien Nahak tetapi juga bagi masyarakat luas, yang berkepentingan untuk memahami bagaimana mekanisme penegakan hukum berfungsi dalam konteks yang lebih luas. Kejelasan dalam prosedur hukum adalah salah satu pilar penting dalam menjaga kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Penanganan yang baik terhadap kasus ini sangat diharapkan, dengan mengutamakan asas keadilan. Sebagaimana kita ketahui, setiap individu berhak atas perlakuan yang adil, terutama dalam situasi hukum yang sangat krusial seperti ini.